Jumat, 21 Agustus 2009

Kota Seribu Sungai

Mungkin julukan sebagai kota seribu sungai tak terdengar asing lagi didengar bagi propinsi Kalimantan Selatan, selai memiliki DAS yang beranak, juga menyimpan habitat floura dan fauna yang banyak dan unik, Propinsi Kalimantan Selatan secara geografis, terletak di antara 114 19′ 13” - 116 33′ 28” Bujur Timur dan 1 21′ 49” – 4 10′ 14” Lintang Selatan. Secara administratif, Propinsi Kalimantan Selatan terletak di bagian selatan Pulau Kalimantan dengan batas-batas : Sebelah barat dengan Propinsi Kalimantan Tengah, sebelah timur dengan Selat Makasar, sebelah selatan dengan Laut Jawa dan sebelah utara dengan Propinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan letak tersebut, luas wilayah Propinsi Kalimantan Selatan hanya 6,98 persen dari luas Pulau Kalimantan secara keseluruhan.

Secara administratif wilayah Propinsi Kalimantan Selatan dengan kota Banjarmasin sebagai ibukotanya, meliputi 11 kabupaten dan 2 kota. Kabupaten terbaru adalah Kabupaten Tanah Bumbu (pecahan Kabupaten Kotabaru) dan Kabupaten Balangan (pecahan Kabupaten Hulu Sungai Utara). Persentase luas tertinggi adalah Kabupaten Kotabaru (25,11%); Kabupaten Tanah Bumbu (13,50%) dan terendah adalah Kota Banjarmasin (0,19%) dan Kota Banjarbaru (0,98%).

Bentuk geologi wilayah Kalimantan Selatan sebagian besar berupa Aluvium Muda dan formasi Berai.

Kemiringan tanah dengan 4 kelas klasifikasi menunjukkan bahwa sebesar 43,31 persen wilayah Propinsi Kalimantan Selatan mempunyai kemiringan tanah 0-2%.
Rincian luas menurut kemiringan adalah sebagai berikut :
· 0-2% : 1 625 384 Ha (43,31%)
· >2-15% : 1 182 346 Ha (31,50%)
· >15-40% : 714 127 Ha (19,02%)
· >40% : 231 195 Ha (6,16%)

Adapun luas wilayah Kalimantan Selatan menurut kelas ketinggian yang dibagi menjadi 6 kelas ketinggian menunjukkan wilayah Kalimantan Selatan sebagian besar berada pada kelas ketinggian >25 -100 m di atas permukaan laut yakni 31,09 persen.

Tanah di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan sebagian besar berupa hutan ( 43 persen)

Wilayah Kalimantan Selatan juga banyak dialiri sungai. Sungai tersebut antara lain Sungai Barito, Sungai Riam Kanan, Sungai Riam Kiwa, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, Sungai Tapin, Sungai Kintap, Sungai Batulicin, Sungai Sampanahan dan sebagainya. Umumnya sungai-sungai tersebut berpangkal pada pegunungan Meratus dan bermuara di Laut Jawa dan Selat Makasar.

Iklim

Temperatur udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Temperatur rata-rata di daerah Kalimantan Selatan pada tahun 2004 berkisar antara 23,30C sampai 32,70C. Sedangkan kelembaban udara rata-ratanya berkisar antara 47%-s.d 98% tiap bulan.
Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan geografi dan perputaran/ pertemuan arus udara. Catatan curah hujan tahun 2004 disajikan pada Tabel 1.2.2. Curah hujan tertinggi di daerah ini terjadi pada bulan Januari yaitu 626,1 mm sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu 0,0 mm. Jumlah hari hujan selama tahun 2004 adalah 181 hari dengan hari terbanyak hujan terjadi pada bulan Januari yaitu 27 hari. Rata-rata tekanan udara di daerah ini berkisar antara 1.009,3 mm-1.013,6 mm selama tahun 2004. Antara curah hujan dan keadaan angin biasanya ada hubungan erat satu sama lain. Walaupun demikian di beberapa tempat, hubungan tersebut agaknya tidak selalu ada. Keadaan angin pada musim hujan biasanya lebih kencang dan angin bertiup dari barat dan barat laut. Oleh karena itu musim tersebut dikenal juga dengan musim barat. Pada musim kemarau angin bertiup dari benua Australia, keadaan angin saat itu bisa juga kencang Keadaan angin di Kalimantan Selatan pada tahun 2004 yang dipantau dari Stasiun Meteorologi Syamsuddin Noor menunjukkan kecepatan angin pada tahun 2004 rata-rata 4 knot. Untuk penyinaran matahari dipantau pada jam 06.00-18.00 terlihat intensitas yang beragam tiap bulannya. Penyinaran matahari dengan intensitas tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu rata-rata 6,9 jam/hari dan intensitas terendah terjadi pada bulan Desember yaitu rata-rata 2,0 jam/hari.

Pariwisata

Pariwisata di daerah Kalsel termasuk sektor yang juga potensial untuk dikembangkan. Daerah Kalsel memiliki beberapa obyek wisata yang menarik, baik bagi turis domestik maupun mancanegara. Obyek tersebut berupa wisata alam yang terdiri dari banyak sungai, hutan, danau, dan pegunungan, serta wisata budaya dan sejarah berupa peninggalan beranekaragam seni dan budaya. Hanya sayang, potensi yang cukup baik untuk menambang devisa (pendapatan asli daerah) ini sampai sekarang belum dikembangkan secara optimal. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kalsel baik dari mancanegara (wisman) maupun nusantara (wisnu) pada 1997 dan 1998 adalah seperti berikut: wisman sebanyak 20.707 orang dan 13.866 orang, sedangkan wisnu 212.516 orang dan 183.883 orang. Penurunan itu disebabkan oleh masalah keamanan dan suhu politik yang panas di Indonesia, serta maraknya kerusuhan di kota-kota besar di Indonesia, seperti kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Solo, Medan, Surabaya, dan sebagainya. Kondisi keamanan dan suhu politik yang memanas selama beberapa tahun terakhir sangat tidak kondusif bagi pengembangan sektor pariwisata di Indonesia pada umumnya, dan di Kalsel pada khususnya.

Potensi ekonomi dan perdagangan di Kalimantan Selatan pada dasarnya cukup baik dan prospektif, mengingat letak geografisnya yang langsung berbatasan dengan Laut Jawa. Propinsi ini selanjutnya dapat dikembangkan sebagai pusat ekonomi/perdagangan antar propinsi yang antara lain meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Selatan, dan Utara. Karena letak geografisnya yang sangat strategis tersebut, daerah Kalimantan Selatan sangat potensial dan perlu dikembangkan secara lebih optimal.

Kesenian daerah dan budaya suku dayak banjar

Seni Tari suku Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama “Baksa” yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan. Seni tari daerah Banjar yang terkenal misalnya :

  • Tari Baksa Kembang, dalam penyambutan tamu agung.
  • Tari Baksa Panah
  • Tari Baksa Dadap
  • Tari Baksa Lilin
  • Tari Baksa Tameng
  • Tari Radap Rahayu, dalam upacara perkawinan
  • Tari Kuda Kepang
  • Tari Japin/Jepen
  • Tari Tirik
  • Tari Gandut

Seni Karawitan

Gamelan Banjar

  • Gamelan Banjar Tipe Keraton
  • Gamelan Banjar Tipe Rakyatan

Lagu Daerah

Lagu daerah Banjar yang terkenal misalnya :

Seni rupa Dwimatra

Seni Anyaman

Seni anyaman dengan bahan rotan, bambu dan purun sangat artistik. Anyaman rotan berupa tas dan kopiah.

Seni Lukisan Kaca

Seni lukisan kaca berkembang pada tahun lima puluhan, hasilnya berupa lukisan buroq, Adam dan Hawa dengan buah kholdi, kaligrafi masjid dan sebagainya. Ragam hiasnya sangat banyak diterapkan pada perabot berupa tumpal, sawstika, geometris, flora dan fauna.

Seni Tatah/Ukir

Motif jambangan bunga dan tali bapilin dalam seni tatah ukir Banjar

Seni ukir terdiri atas tatah surut (dangkal) dan tatah babuku (utuh). Seni ukir diterapkan pada kayu dan kuningan. Ukiran kayu diterapkan pada alat-alat rumah tangga, bagian-bagian rumah dan masjid, bagian-bagian perahu dan bagian-bagian cungkup makam. Ukiran kuningan diterapkan benda-benda kuningan seperti cerana, abun, pakucuran, lisnar, perapian, cerek, sasanggan, meriam kecil dan sebagainya. Motif ukiran misalnya Pohon Hayat, pilin ganda, swastika, tumpal, kawung, geometris, bintang, flora binatang, kaligrafi, motif Arabes dan Turki.

Pencak Silat Kuntau Banjar

Pencak Silat Kuntau Banjar adalah ilmu beladiri yang berkembang di Tanah Banjar dan daerah perantaun suku Banjar.

Seni Rupa Trimatra (Rumah Adat)

Rumah adat Banjar ada beberapa jenis, tetapi yang paling menonjol adalah Rumah Bubungan Tinggi yang merupakan tempat kediaman raja (keraton). Jenis rumah yang ditinggali oleh seseorang menunjukkan status dan kedudukannya dalam masyarakat. Jenis-jenis rumah Banjar:

  1. Rumah Bubungan Tinggi, kediaman raja
  2. Rumah Gajah Baliku, kediaman saudara dekat raja
  3. Rumah Gajah Manyusu, kediaman “pagustian” (bangsawan)
  4. Rumah Balai Laki, kediaman menteri dan punggawa
  5. Rumah Balai Bini, kediaman wanita keluarga raja dan inang pengasuh
  6. Rumah Palimbangan, kediaman alim ulama dan saudagar
  7. Rumah Palimasan (Rumah Gajah), penyimpanan barang-barang berharga (bendahara)
  8. Rumah Cacak Burung (Rumah Anjung Surung), kediaman rakyat biasa
  9. Rumah Tadah Alas
  10. Rumah Lanting, rumah diatas air
  11. Rumah Joglo Gudang
  12. Rumah Bangun Gudang

Jukung Banjar

Miniatur jukung gundul suku Banjar

Erik Petersen telah mengadakan penelitian tentang jukung Banjar dalam bukunya Jukungs Boat From The Barito Basin, Borneo. Jukung adalah transportasi khas Kalimantan. Ciri khasnya terletak pada teknik pembuatannya yang mempertahankan sistem pembakaran pada rongga batang kayu bulat yang akan dibuat menjadi jukung. Jenis Jukung :

  1. Jukung Sudur (rangkaan)
    1. Jukung Sudur Biasa
    2. Jukung Sudur Bakapih
    3. Jukung Sudur Anak Ripang
  2. Jukung Patai
    1. Jukung Biasa
    2. Jukung Hawaian
    3. Jukung Kuin
    4. Jukung Pelanjan
    5. Jukung Ripang Hatap
    6. Jukung Pemadang
  3. Jukung Batambit
    1. Jukung Tambangan
    2. Jukung Babanciran
    3. Jukung Undaan
    4. Jukung Parahan
    5. Jukung Gundul
    6. Jukung Pandan Liris
    7. Jukung Tiung

    Wayang Banjar

    Wayang Banjar terdiri dari :

  4. Wayang kulit Banjar
  5. Wayang gung/wayang Gong yaitu (wayang orang versi suku Banjar

Mamanda

Mamanda merupakan seni teater tradisonal suku Banjar.

Tradisi Bananagaan

  1. Naga Badudung
  2. Kepala Naga Gambar Sawit
  3. Kepala Naga Darat

Mandau, Senjata Tradisional Orang Dayak di Kalimantan


Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara.

Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Struktur Mandau
1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.

Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.

2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.

3. Sarung Mandau.
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.

Nilai Budaya
Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.

Seni Tari Dayak

Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.

Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.

Tari PerangTari Perang


2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.

Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.

Tari Kancet Ledo

3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.

Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.

4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.

5.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.

Tari Hudoq

6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.

7. Tari Hudoq Kita’
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.

8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).

BelianTari Belian Bawo

9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.

10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.

11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.

12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.

13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.

14. Tari Baraga’ Bagantar
Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.

Seni Musik Dayak





Seni Musik Dayak






Pria Dayak Kenyah yang memainkan alat musik Sampe'Alat Musik Sampe
Photo: AsiaFoto.com

Suku Dayak memiliki bermacam-macam alat musik, baik berupa alat musik petik, pukul dan tiup. Dalam kehidupan sehari-hari suku di pedalaman ini, musik juga merupakan sarana yang tidak kalah pentingnya untuk penyampaian maksud-maksud serta puja dan puji kepada yang berkuasa, baik terhadap roh-roh maupun manusia biasa. Selain itu musik alat-alat musik ini digunakan untuk mengiringi bermacam-macam tarian.

Seperti halnya dalam seni tari, pada seni musik pun mereka memiliki beberapa bentuk ritme, serta lagu-lagu tertentu untuk mengiringi suatu tarian dan upacara-upacara tertentu. Masing-masing suku memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.


Alat Musik Suku Dayak:

Alat Musik

Keterangan

Gendang
Ada beberapa jenis Gendang yang dikenal oleh suku Dayak Tunjung:
  • Prahi
  • Gimar
  • Tuukng Tuat
  • Pampong
Genikng
Sebuah gong besar yang juga digantungkan pada sebuah standar (tempat gantungan) seperti halnya gong di Jawa.
Gong
Sama seperti gong di Jawa, dengan diameter 50-60 cm
Glunikng
Sejenis alat musik pukul yang bilah-bilahnya terbuat dari kayu ulin. Mirip alat musik saron di Jawa.
Jatung Tutup
Gendang besar dengan ukuran panjang 3 m dan diameter 50 cm
Jatung Utang
Sejenis alat musik pukul dari kayu yang berbentuk gambang. Memiliki 12 kunci, tergantung dari atas sampai bawah dan dimainkan dengan kedua belah tangan.
Kadire
Alat musik tiup yang terbuat dari pelepah batang pisang dan memiliki 5 buah pipa bambu yang dibunyikan dengan mempermainkan udara pada rongga mulut untuk menghasilkan suara dengung.
Klentangan
Alat musik pukul yang terdiri dari enam buah gong kecil tersusun menurut nada-nada tertentu pada sebuah tempat dudukan berbentuk semacam kotak persegi panjang (rancak). Bentuk alat musik ini mirip dengan bonang di Jawa. Gong-gong kecil terbuat dari logam sedangkan tempat dudukannya terbuat dari kayu.
Sampe
Sejenis gitar atau alat musik petik dengan dawai berjumlah 3 atau 4. Biasanya diberi hiasan atau ukiran khas suku Dayak.
Suliikng
Alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Ada beberapa jenis suliikng:
  • Bangsi / Serunai
  • Suliikng Dewa
  • Kelaii
  • Tompong
Taraai
Sebuah gong kecil yang digantungkan pada sebuah standar (tempat gantungan). Alat pemukul terbuat dari kayu yang agak lunak.
Uding (Uring)
Sebuah kecapi yang terbuat dari bambu atau batang kelapa. Alat musik ini dikenal juga sebagai Genggong (Bali) atau Karinding (Jawa Barat).

Seni Pahat & Patung


Suku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara.

Patung Ajimat
Patung sebagai ajimat terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit.

Patung Kelengkapan Upacara
Patung-patung kecil untuk kelengkapan upacara biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas tahun, kuangkai, dan pesta adat lainnya. Patung kecil ini terbuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu hingga tepung ketan.

Patung BlontangPatung blontang suku Dayak ini mengingatkan kita pada totem yang dimiliki oleh suku Indian di Amerika.

Patung Alat Upacara
Patung sebagai alat upacara contohnya adalah patung blontang yang terbuat dari kayu ulin. Tinggi patung antara 2 - 4 meter dan dasarnya ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter.

Motif Pahatan Suku Dayak
Suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik dalam setiap pahatan mereka. Umumnya mereka mengambil pola dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya.

Herry Dim


Herry Dim, disebut oleh teman-teman dekatnya sebagai laboratorium hidup, manusia eksperimental, dan tukang menabrak ketidakjelasan. Harry Roesli dalam candanya bahkan kerap mengatakan, “maneh mah jelema sial, sialna teu weleh miheulaan bae zaman (kamu ini manusia sial, sialnya hampir selalu mendahului zaman),” itu untuk mengatakan bahwa karya-karya temuan Herry Dim sebagai seniman senantiasa “lambat” diterima publik meski belakangan menjadi umum dan banyak dikerjakan oleh seniman-seniman lain. Sebagai pelukis, misalnya, ia mendahului menerakan ragam benda atau material apapun ke dalam kanvasnya. Pada saat muncul ditanggapi dengan sepi, tapi belasan tahun kemudian menjadi kecenderungan umum di kalangan senirupa. Tahun 1990-91 menggagas “metateater” kemudian mengerjakannya bersama Harry Roesli dan Teater Payung Hitam. Ide untuk membobol batas kaku antara senirupa, teater, musik, tari, dan seni peran, ini pun diterima dengan dingin dan bahkan hanya menerima hujatan. Belakangan setelah sekitar 15 tahun kemudian, semodel “metateater” malah beranak pinak; ada yang di dalam istilah performance art, multi-media, dan sebagian mengembangkan seni aksi visual ini dengan nama-nama lain. Herry Dim pula yang “menabrak” masa kesulitan biaya untuk artistik pementasan teater di awal tahun 1980-an dengan mengatakan “tak usah beli dan bawa apa-apa ke tempat pertunjukkan, cukup membawa tubuh kita saja, nanti yang ada di sana kita manfaatkan,” maka muncullah konsepnya yang disebut “badingkut,” konsep ini pula yang pada dasarnya melandasi kesenirupaannya. Bahkan, lagi-lagi untuk senirupa dan seni pertunjukan, ia mengawali konsep “hadir di manapun,” antara lain muncullah karyanya di sungai, kuburan, perkebunan teh, dan jarian (bahasa Sunda = lahan tak jelas yang penuh dengan belukar), dan tempat-tempat tak lumrah lainnya.
Karya “rupa”nya yang paling terakhir selain yang dalam bentuk lukisan adalah gambar motekar. Kiranya merupakan bagian lain dari ujicoba laboratorium yang ada pada tubuhnya. Ia memungut sesuatu yang cenderung sudah ditinggalkan, tak punya harapan, malah wilayahnya pun dimulai dari hal yang tak dijamah seniman-seniman lain; dunia anak-anak! Kecuali applause dari anak-anak itu sendiri, selama empat tahun berjalan (2000-2003) pun sepi tanggapan dari sesama seniman, kritisi, apalagi akademisi seni.
Lahir di Bandung, 19 Mei 1955. Kegiatan utamanya kini sebagai pelukis sambil sesekali mengerjakan pula artistik untuk seni pertunjukan (drama, tari, musik), seni grafis, disain grafis, seni instalasi, dan kadang-kadang menulis esei seni dan kebudayaan di berbagai media seperti di Pikiran Rakyat, Republika, Kompas, Gatra, Matra, Horison, dll. Kumpulan tulisannya sempat dibukukan dengan judul “Jawinul: Jalan-jalan di Rimba Kebudayaan” (1995). Sebagai pelukis, ia termasuk seorang otodidak yang dengan sungguh-sungguh mempelajari ihwal ragam seni etnik, dasar-dasar drawing, seni grafis, dan seni lukis melalui berbagai sumber yang dicarinya sendiri ataupun dengan “berguru” pada seniman-seniman lain.
Ia mulai melukis sejak kecil dan intesifnya setelah lulus SMA di tahun1973. Pada tahun 1975 ia bergabung dengan Bengkel Pelukis Jakarta dan pada tahun 1976 bergabung dengan Sanggar Garajas. Pada tahun 1978 ia kembali ke Bandung, tahun 1983 bersama seniman-seniman lainnya seperti Rudy Pranadjaya, Nana Banna, dan Benny Somantri (alm.) mendirikan Kelompok Seniman Bandung.
Sejak tahun 1975, ia telah mengikuti berbagai pameran. Dalam catatan era tahun

1990-an saja, antara lain ia mengikuti pameran-pameran: International Exhibition of Asian Artists (Bandung), Biennale Yogyakarta, Festival Istiqlal, Biennale Jakarta, Non-Aligned Countries Contemporary Art Exhibition, 3 Indonesian Contemporary Artists (Jakarta), Rites to the Earth yang bersambung dengan peristiwa “Ruwatan Bumi,” International Exhibition of Asian Artists (Kualalumpur), International Exhibition of Asian Artists (Fukuoka). Pada bulan Mei hingga Agustus 1996, ia diundang oleh Kulturby Art Foundation untuk mengikuti pameran besar senirupa kontemporer dengan tajuk Container 96: Art Accross the Oceans di Copenhagen, Denmark. Platform 1 yang dikelola oleh Canvas Foundation di Amsterdam. Serta mengikuti pameran 6 Indonesian Painters di Darga & Lansberg Gallery, Paris, 1998.
Pameran tunggalnya yang pernah diselenggarakan adalah “Senirupa Ritus - Ritus Senirupa” (1986), “Senirupa dan Sastra” (1991), “Menyongsong Millenium ke-3″ (1993), “Instalasi 10 Biografi” (1993-94), Lukisan dan Instalasi “Sebuah Ruang Tamu Tak Berpenghuni” sebagai ungkapan keprihatinan atas peristiwa bredel tiga media cetak (1994), “Instalasi Bebegig” (1994), “gonjangganjingnegeriku” (1998 di Bandung dan 2000 di TIM Jakarta). Di tahun 1994 ia berkesempatan pergi ke kota Berlin selama 6 bulan, antara lain sempat melakukan kegiatan seni di Mime Centrum dengan seniman setempat dan seniman Ethiopia.
Banyak pula karya-karyanya yang merupakan karya kolaborasi antara lain seperti “Overdose” bersama Harry Roesli; “24 Jam” bersama Dieter Mack; “Rakit” bersama Endo Suanda, Hendrawan Riyanto, Harry Roesli, Rendra, Putu Wijaya, dll.; “Metateater” bersama Harry Roesli & Teater Payung Hitam; “Pohaci & Bebegig” bersama istrinya, Ine Arini, yang seorang penari, “Guguran Daun” bersama sejumlah penyair, “Instalasi Onggokan Nasi” bersama Rendra, “Instalasi Negeri Angin” untuk pembacaan sajaknya Agus R. Sarjono, dll. Akan panjang catatan ini jika ditambah dengan karya-karya artistiknya untuk berbagai pertunjukan teater hingga karya-karya disain grafisnya untuk berbagai penerbitan, terutama buku-buku sastrawan nasional atau pun internasional.
Sepanjang kariernya, ia pernah melewati 4 periode penting. Pertama, periode etnik, yaitu saat ia melakukan studi terhadap esensi dan simbol-simbol seni etnik, khususnya yang bersumber pada dasar kebudayaan masyarakat Kanekes, serta dari pergaulannya selama lebih dari satu tahun dengan suku Bajo di perairan Sulawesi. Senirupa Ritus - Ritus Senirupa lahir pada periode ini. Kedua, periode biru dan boom lukisan, ia kembali ke masa lalunya dalam artian mengolah kembali keterampilannya dalam menggambar (drawing) dan melukis model dengan pilihan warna monokrom biru. Selewat masa itu, warna-warna dalam karya lukisnya kembali muncul malah sepertinya menjadi koloris (colorist), kecenderungannya ini tumbuh bersamaan dengan situasi boom lukisan yang pernah terjadi di tanah air. Ketiga, periode anak-anak, satu periode pendek ketika ia begitu asyik melakukan kegiatan melukis bersama anaknya yang ketika itu masih berusia 4 tahun. Bisa disebut sebagai periode yang penuh gairah dan keliaran, dimana ia berkesempatan menengok kembali wilayah-wilayah yang paling archais dalam hidupnya. Keempat, periode Pohaci, yaitu saat ia sepertinya tengah menjumput kembali sejumlah pengalaman seninya, mencoba menggabungkannya dan membangun sesuatu yang sama sekali baru. Saat inilah ia tengah pulang-pergi antara masa lalu, saat ini, dan pandangannya ke masa depan. Dilatari oleh serangkaian perjalanan kreatif seperti disebut di atas, maka di antara seluruh perjalanan dan di masa “Pohaci” inilah konsep “badingkut”nya lahir. “Bunyi” kredo “badingkut” maka tak hanya dalam konteks kesadaran sosial, tapi sesungguhnya didasari pula oleh kesadaran estetik serta filsafat seni yang selama ini ia hayati sekaligus ia praktekan. Berbagai hal yang bagi orang lain mungkin dianggap muskil, ia susun kembali dan ia bentuk menjadi pernyataan baru dengan sebuah pengharapan yang selalu digumamkannya: “meski harus dimulai dengan mengais-kais reruntuk, akan kuantarkan bangsa ini memasuki masa pencerahan!”